BERITACYBER.COM – Fakta Siswa Disuruh Sujud dan Menggonggong di Surabaya Bikin Netizen Ngamuk Kasus video viral Siswa Disuruh Sujud dan Menggonggong yang menunjukkan seorang pria menyuruh siswa menggonggong dan bersujud di SMA Kristen Gloria 2 Surabaya mencuri perhatian publik. Kejadian tersebut terjadi pada Senin, 21 Oktober 2024, dan memicu banyak komentar di media sosial. Dalam video yang tersebar, seorang pria berbaju putih, yang diketahui sebagai pengusaha bernama Ivan Sugianto, tampak marah kepada seorang siswa berinisial E dan memaksanya untuk bersujud serta menggonggong. Insiden ini tidak hanya mengejutkan banyak orang, tetapi juga menyoroti dinamika emosi dan batasan perilaku di lingkungan sekolah.
Kasus sujud dan menggonggong di SMA Kristen Gloria 2 Surabaya telah menunjukkan pentingnya pengelolaan emosi dan tanggung jawab sosial dalam lingkungan pendidikan. Tindakan berlebihan yang dilakukan oleh orang tua siswa telah menimbulkan trauma bagi seorang siswa, meskipun insiden ini telah diselesaikan secara damai. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa ejekan dan konflik kecil antar-anak dapat dengan mudah membesar jika tidak ditangani dengan bijak oleh pihak orang tua maupun sekolah.
Contents
Fakta Siswa Disuruh Sujud dan Menggonggong di Surabaya
Berikut sejumlah faktanya yang kami rangkum dari berbagai sumber di internet
Kronologi Kejadian
Kejadian ini bermula dari aksi saling ejek antara siswa berinisial E, yang bersekolah di SMA Kristen Gloria 2, dan EM, anak dari Ivan Sugianto, yang bersekolah di SMA Cita Hati Surabaya. Konflik dimulai ketika E mengejek gaya rambut EM, menyebutnya mirip dengan pudel, salah satu ras anjing. Ejekan ini sebetulnya hanya dibicarakan E bersama teman-temannya di sekolah, tetapi kemudian terdengar oleh EM. Merasa terhina, EM mengirimkan pesan berisi ancaman kepada E melalui media sosial.
Isi pesan tersebut menunjukkan bahwa EM meminta E untuk membuat video permintaan maaf dan menulis surat pernyataan di atas materai. Ketika E mengabaikan permintaan tersebut, EM semakin marah dan mengancam akan mendatangi sekolah E. Tak lama kemudian, Ivan Sugianto bersama beberapa orang dewasa mendatangi sekolah E untuk menegur langsung anak tersebut.
Insiden di Sekolah
Ketika Ivan tiba di sekolah E pada 21 Oktober 2024, ia langsung menunjukkan kemarahannya. Dalam video yang tersebar luas, Ivan terlihat menunjuk-nunjuk E dan memintanya untuk bersujud dan menggonggong. Peristiwa ini disaksikan oleh beberapa orang di sekitar, dan beberapa di antaranya tampak mencoba melerai namun tidak berhasil. Pada akhirnya, E diminta untuk menggonggong oleh Ivan di depan umum, sebuah perlakuan yang memicu banyak reaksi negatif dari masyarakat.
Reaksi Orang Tua dan Masyarakat
Insiden tersebut membuat keluarga E, terutama ibunya, Ira Maria, merasa sangat cemas. Ira menyatakan bahwa E merasa tertekan dan ketakutan setelah insiden itu, bahkan hingga sulit untuk menjalani aktivitas sehari-hari dengan tenang. Ketika Ira mencoba melindungi E dari ancaman yang dilontarkan oleh EM, ia tidak menyangka bahwa EM dan ayahnya benar-benar akan mendatangi sekolah dan memaksa E meminta maaf secara tidak layak.
Kabar ini menjadi viral di media sosial setelah diunggah oleh akun di platform X. Unggahan tersebut langsung mengundang banyak perhatian dan komentar dari warganet. Mayoritas masyarakat menyayangkan perilaku Ivan, menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi terhadap anak di bawah umur.
Klarifikasi dan Permintaan Maaf
Tak lama setelah video insiden itu tersebar luas, pihak keluarga kedua belah pihak berusaha mencari jalan damai. Melalui sebuah video klarifikasi yang diunggah di akun TikTok, baik keluarga dari E maupun dari pihak Ivan menyatakan bahwa permasalahan telah selesai secara kekeluargaan. Meski tidak ada kekerasan fisik yang terjadi dalam insiden itu, masyarakat tetap menganggap bahwa tindakan tersebut melanggar norma sosial dan moral.
Dalam klarifikasinya, keluarga E menegaskan bahwa meski telah berdamai, mereka tetap merasa perlu untuk menyuarakan insiden ini agar masyarakat dapat memahami betapa pentingnya menjaga emosi dan batasan perilaku, terutama dalam lingkungan pendidikan.
Proses Hukum dan Investigasi
Meski kedua belah pihak telah sepakat untuk berdamai, kasus ini tetap dilaporkan oleh pihak sekolah ke kepolisian. Kepolisian Surabaya kemudian mengambil langkah untuk menyelidiki kejadian ini, terutama terkait aspek perlindungan anak. Hingga saat ini, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Dirmanto mengonfirmasi bahwa pihaknya telah memeriksa delapan saksi yang berkaitan dengan insiden tersebut. Polisi juga menyatakan akan terus mendalami kasus ini, meskipun proses hukum mungkin memakan waktu karena melibatkan siswa di bawah umur.
Pihak kepolisian menegaskan bahwa kasus ini harus diselesaikan dengan bijaksana untuk memastikan masa depan anak tidak terganggu. Kombes Pol Dirmanto menyampaikan bahwa dalam menangani kasus ini, polisi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang pada kedua anak yang terlibat agar tidak ada yang merasa dirugikan atau trauma.
Dampak Psikologis Terhadap Korban
Pasca-insiden, keluarga E melaporkan bahwa E mengalami ketakutan dan kecemasan yang signifikan. Menurut pengakuan Ira Maria, E menunjukkan perubahan perilaku, seperti ketakutan setiap kali orang tuanya hendak meninggalkannya sendiri di rumah. Ia bahkan merasa perlu tidur bersama orang tuanya karena takut akan teror yang dialaminya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tindakan intimidasi dalam bentuk apa pun bisa berdampak besar pada kesehatan mental anak, terutama dalam masa pertumbuhan. Banyak pihak mendesak agar kejadian serupa tidak terulang lagi, dan mendesak agar para orang tua lebih berhati-hati dalam menyelesaikan konflik anak-anak mereka.
Pandangan Ahli Psikologi
Beberapa ahli psikologi turut memberikan pandangan mereka mengenai kasus ini. Mereka mengingatkan bahwa anak-anak yang terpapar intimidasi atau perlakuan merendahkan dapat mengalami trauma yang berpotensi mengganggu perkembangan mental dan emosional mereka. Anak-anak yang merasa terintimidasi bisa kehilangan rasa percaya diri dan merasa rendah diri. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua dan sekolah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental anak, alih-alih menggunakan pendekatan yang mempermalukan atau merendahkan.
Dalam menghadapi konflik yang melibatkan anak-anak, alangkah baiknya para orang tua dan guru bertindak sebagai mediator yang menenangkan dan mendorong anak-anak untuk belajar memaafkan dan memahami satu sama lain. Meskipun niatnya adalah untuk membela anak, tindakan kekerasan verbal atau merendahkan seperti yang terjadi dalam kasus ini sebaiknya dihindari karena dapat merusak kesehatan mental anak-anak yang terlibat.